Selasa, September 01, 2009

MERENUNGI MAKNA SIWARATRI

Malam Renungan Suci
Siwaratri atau Malam Siwa sering juga disebut ”Malam renungan suci”, yakni malam dimana Dewa Siwa sedang beryoga untuk kesejahtraan alam dan segala isinya. Siwaratri jatuh pada Purwaning (sehari sebelum) Tilem Kapitu (Bulan Magha) atau pada Panglong ping 14 sasih kapitu. Proses perjalanan satu hari sesudah Purnama menuju satu hari sebelum Tilem (Bulan Mati) disebut ”Panglong”. Siwaratri ini jatuh pada Panglong yang ke-14 Sasih Kapitu setiap setahun sekali. Pada Siwa Ratri ini umat sangat diharapkan melakukan : Sambang/Jagra/Begadang, ”Yoga”- menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, ”Samadhi” – menyatukan diri dengan Nya. Dengan melakukan hal ini secara benar diyakini kita akan memperoleh anugrah dari Dewa Siwa. Landasan perayaan Siwaratri ini adalah ”Kekawin Siwaratri kalpa” yang lebih dikenal dengan kekawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Kekawin ini bersumber dari Padma Purana (ada 18 Purana). Purana adalah ceritra-ceritra kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja terkenal yang memerintah dunia. Purana itu sendiri bagian dari Upaweda yang merupakan Weda Smerti.

Sedikit tentang ”Lubdaka”
Lubdaka diceritrakan pada Siwaratri kalpa, adalah seorang pemburu yang sehari-hari kerjanya berburu binatang kehutan. Suatu hari yaitu pada Purwaning Tilem sasih kapitu pagi pagi sekali Lubdaka meninggalkan rumahnya untuk berburu, hari itu tidak mujur baginya karena sampai sore tidak memperoleh binatang buruan sampai akhirnya hari sudah malam. Untuk pulang Lubdaka tidak berani karena takut dengan binatang buas, tidurpun juga tidak berani dibawah. Di hutan ada telaga dan dipinggirnya hidup pohon ”Bila”, maka Lubdaka naik kepohon itu. Karena takut jatuh, maka dia tidak berani tidur dan menghilangkan ngantuknya dengan melemparkan daun bila kebawah yang tanpa sepengetahuannya ada sebuah ”Lingga” (simbul Siwa) dan hari itu tepat malam Dewa Siwa ber-yoga. Keesokan harinya ketika matahari terbit, Lubdaka pulang dengan kecapaian tanpa membawa binatang buruan. Waktu berlalu dan suatu ketika Lubdaka sakit dan akhirnya meninggal. Atmanya mengalami kebingungan dan kegelapan karena kehidupannya yang buruk. Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengutus abdinya untuk menjemput Atma Lubdaka. Karena Lubdaka melakukan Jagra, Puasa, dan memuja Dewa Siwa dengan melempar daun Bila ke Lingga, dimana saat itu Dewa Siwa sedang ber-yoga, maka Lubdaka memperoleh anugrah Dewa Siwa dan menetap di Siwaloka (Sorga).

Pelaksanaan Siwaratri
Brata Siwaratri dapat dilakukan sesuai kemampuan kita, sehingga dapat dilakukan pada tiga tingkatan :
Utama  Monabrata (diam diri & tidak bicara), Upawasa (tidak makan&minum), dan Jagra (tidak tidur/begadang).
Madhya  Upawasa dan Jagra
Kanistha  Jagra.

Brata Siwaratri diatas dilakukan dengan :
1. Jagra (Tidak tidur) selama 36 jam, sejak matahari terbit pada Purwaning Sasih Kapitu (hari Siwaratri) sampai pada jam 18.00 keesokan harinya
2. Upawasa selama 24 jam, sejak matahari terbit pada hari Siwaratri sampai matahari terbit keesokan harinya.
3. Yoga Samadhi selama 12 jam pada malam harinya.

Saat Jagra, Siwaratri kalpa menyarankan untuk melakukan hal-hal positif seperti : Mengadakan bunyi-bunyian (Mredangga), Mekidung atau kekawin, mendengarkan ceritra Lubdaka.

Jenis-jenis upakara yang diperlukan menurut ”Siwaratri Kalpa 31.3” adalah pemujaan dengan bunga yang harum-harum, seperti : Menur, kanyeri, gambir, arja, kacubung, wanduri putih, putat, asoka, nagapuspa, tenguli, bakula kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung merah, tunjung putih, majar-majar, dan sulasih.

Siwaratri Kalpa 31.4 menyebutkan: Bunga-bunga diatas dilengkapi dengan madu, bubur susu, bubur gula liwet dengan dicampuri hati wilis (santan). Juga dilengkapi dengan Daun Bila (Pana-pana matsyaka).

Hal diatas di Bali dipraktekkan dengan :
• Upasaksi ke Surya  dengan Canang ajuman atau Pejati.
• Di Sanggah Kemulan  mempersembahkan tapakan Pelinggih, pasucian, rayunan putih kuning, ajuman dan panca lingga yang dilengkapi daun Bila.
• Sarana Pemuspaan  untuk tiga kali : malam, tengah malam dan menjelang matahari terbit.

Rentetan upacaranya jika mampu melaksanakan, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Malam hari sebelum Siwaratri sudah Maprayascita atau membersihkan pikiran dan batin.
2. Pagi-pagi sekali pada hari Siwaratri melakukan pemujaan dan menyampaikan niat melaksanakan Brata Siwaratri.
3. Dilanjutkan dengan mandi, kramas untuk mensucikan diri.
4. Melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa dan dilanjutkan Upawasa jika mungkin Monabrata.
5. Pada malam hari, tengah malam, dan menjelang matahari terbit, malakukan –pemujaan (jika memungkinkan minimal dengan saranan Banten Pejati) kehadapan : Dewa Surya (Upesaksi), Leluhur, dan Dewa Siwa.
6. Kegiatan diatas dibarengi dengan : Jagra (36 jam), Upawasa (24 jam), dan Samadhi (12 jam pada malam harinya/hari siwaratri). Dapat juga melakukan JAPA.

Sedikit tentang JAPA
Pengulangan mantra suci selama beberapa kali disebut JAPA. Dalam Bhagawadgita, Sri Krsna bersabda : "Diantara yajna Aku adalah japa yajna". Yajna disini artinya kurban dan segenap alam semesta serta kebenaran ditegakkan dalam yajna. Mengapa Sri Krsna bersabda demikian? karena Japa-yajna adalah murni dan sederhana, tanpa keinginan material, tetapi tulus dalam memuja Hyang Widhi untuk memperkaya kesucian dan menguatkan spiritual yakni pendekatan diri kepada-Nya.

Japa terdiri dari dua kata : JA artinya menghancurkan siklus kelahiran-kematian, dan PA artinya menghancurkan segala dosa. Arti Japa menunjukkan pahala bagi mereka yang ber-Japa.Tehnik berjapa ada dua yaitu : Vacika, dengan mengucapkan mantra, dan Manasika, mengucapkannya didalam hati (tidak terdengar keluar). Pilihannya tergantung kondisi. Di tempat ramai, kita melakukan Manasika, dan ditempat sepi kita menggunakan Vacika. Vacika japa ada dua yaitu suara mantra terdengar oleh orang lain, dan suara mantra tidak terdengar orang lain, hanya terlihat gerakan bibir saja (upamsu). Diantara ketiga tehnik itu Manasika-lah yang paling tinggi manfaatnya. Manasika jauh lebih sulit dari Vacika karena dalam tehnik Manasika kita harus mampu menutup telinga dari suara-suara lain, sedangkan dalam tehnik Vacika kita bisa mengalahkan suara lain itu dengan suara mantram yang diucapkan, atau berkonsentrasi pada gerakan bibir.

Tempat berjapa yang paling utama adalah didepan niyasa (simbol) Hyang Widhi misalnya Pura, Mandir, dll. Juga manfaat tak terbilang bila dilakukan di tepi sungai suci, ditepi samudra, dan pegunungan. Berjapa boleh dengan Gayatri, Mahaa Mrityunjaya, Nama Siva, dll
Berjapa sebanyak 108 kali dengan Japamala/Gnitri/Tasbih, akan sangat bermanfaat karena angka 108 menunjukkan rangkaian yang sakral. Angka 1+0+8 = 9 adalah kedudukan manifestasi Hyang Widhi disegala arah mata angin. Namun bila waktunya sempit, cukup tiga kali saja.

Siwaratri di Indonesia dan India
Siwaratri di Indonesia dan India sama-sama jatuh pada Purwaning Tilem Sasih Kapitu (Bulan Magha), cuma jatuhnya berbeda sebulan. Indonesia melaksanakan Siwaratri lebih dulu satu bulan (Antara Januari-Februari) dibandingkan dengan India (antara Februari-Maret). Makna perayaan sama, yaitu memuja Dewa Siwa yang sedang melakukan Yoga.



Perayaan keagamaan lainnya di India dan di Indonesia banyak kesamaannya, seperti :
• Hari Raya Pagerwesi  adalah hari untuk menunjukkan ikatan kasih sayang antara anak (sentana) dengan leluhurnya khususnya Guru Rupaka (Ibu-bapak). Di India ada Hari raya ”Raksa Bandha” adalah hari untuk menguatkan tali-kasih sayang antara : suami-istri, anak dengan orang tua, kemenakan dengan paman atau bibinya, guru dengan murid. Jadi keduanya bertujuan ”Menguatkan ikatan kasih sayang”. Raksa Bandha dilaksanakan pada Purnama Sravana (bulan pertama) yaitu Juli-Agustus. Pagerwesi pada Wuku Sinta juga wuku pertama (Indonesia dengan Pawukon)
• Galungan-Kuningan  Galungan merupakan peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma, di India ada hari raya ”Durga Puja” yang punya tujuan yang sama. Galungan dan Durga Puja sama-sama memuja Dewi Durga. Sepuluh hari sesudah Galungan adalah Kuningan dan sepuluh hari sesudah Durga Puja adalah ”Wijaya Dasami”. Selang hari antara Durga Puja dan Wijaya Dasami ada arak-arakan Durga dan Ganesa, dan antara Galungan – Kuningan ada arak-arakan Barong dan Rangda simbul Durga.
• Hari Raya Saraswati  Merupakan pemujan Dewi Saraswati lambang ilmu pengetahuan. Di India dilakukan pada Suklapaksa penanggal 7 sampai 9 pada bulan Aswina (Asuji), sedang di Indonesia memakai Pawukon yaitu pada Saniscara umanis Watugunung.
• Hari Raya Nyepi  Memperingati atau menyambut Tahun Baru Saka. Bedanya di Indonesia Tahun Saka dimulai pada bulan Mesha (Kadasa) di India pada bulan Chaitra (Sembilan). Di India Tahun Baru Saka diperingati 3 kali :
a. Pada bulan Chaitra Purnima (Purnama) bagi penganut Tahun Candra.
b. Tahun Baru Nasional India (Saka) pada 21/22 Maret
c. Pada Tilem Chaitra (Kesanga) bagi penganut Tahun Surya-Chandra.
• Soma Ribek dan Sabuh Emas/Sabuh Pipis  merupakan pemujaan kepada Dewi Sri (Sri-Sedana) sebagai penguasa kemakmuran dan kesejahtraan. Di India ada ”Waralaksmi Wrata” dengan tujuan yang sama. Dewi Laksmi di India sama dengan Dewi Sri di Indonesia.
• Khusus Penyelenggaraan Dana Punia kepada Pandita dan Orang Miskin  di India ada hari raya ”Satyanarayana Wrata” yang jatuh pada Purnama Kartika, Waisaka,Srawana. Di lontar Sloakantara dan Sarasamuccaya disebutkan ”Purnama-Tilem” adalah saat tepat untuk ber-dana punia kepada Pandita (Rsi Yadnya) dan orang miskin tetapi hal ini jarang dimanfaatkan.
• Hari Raya lain seperti : Wisnu Puja (India Krsna Janmasthami dan Rama Nawami), Guru Puja, Brahma Puja, Tumpek Uduh, Tumpek Kandang, Budha Kliwon Pegatwakan, Tumpek Wayang, dan lain-lain ada di India dengan tujuan yang sama, tetapi di Indonesia khususnya Bali memakai Pawukon sehingga waktunya tidak sama dengan India, hal ini juga karena perbedaan geografis. Bagaimana di Jawa ? Karena sejak abad 14-19 Hindu sempat tenggelam di Jawa, maka perayaan seperti ini tidak mengemuka walau kalau digali mestinya ada, namun karena leluhur Jawa juga ke Bali dan ratusan tahun mengembangkan kegiatan keagamaan sesuai seni budaya sewaktu tinggal di Bali, maka sesungguhnya yang dilaksanakan di Bali itu adalah peninggalan leluhur kita semua baik Jawa atau Bali.

Renungan Siwaratri
Perayaan Siwaratri mengajarkan kita untuk ”Jagra” yaitu sadar, eling, dan waspada dalam menjalani kehidupan ini dengan selalu mengingat beliau dalam hal ini Dewa Siwa, juga ”Upawasa” yang mengarahkan kita menjadi toleran dan empati kepada penderitaan sesama disamping latihan ketahanan menghadapi godaan nafsu yang negatif, dan ”Samadhi” dengan ber-Japa mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri untuk menyatu (Manunggaling Kawula Lan Gusti) sehingga putus rantai kelahiran kembali (reinkarnasi) dan memperoleh kebahagiaan sejati ”Moksartham Jagadhita”.

(Dikutif dan disarikan dari berbagai Sumber)


Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Siwaratri-17-01-2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bagi yang ingin memberi komentar, masukan, rembug, atau sejenisnya dengan etis dan kesadaran untuk kebaikan bersama (Salam Pemilik Blog)